Panas sudah begitu menyengat saat acara FUNBIKE selesai. Sembari menunggu sesi penarikan doorprize, saya duduk di tepi jalan dan menyelonjorkan kaki yang terasa pegal. Tepat di belakang saya duduk, berjejer sepeda onthel yang memanjang ke selatan. Pemandangan yang menarik. Nampaknya para onthel tidak mau kalah eksis dengan para sepeda masa kini dimana saat ini seli (sepeda lipat) menjadi primadona para pecinta sepeda. Saya tersenyum geli membayangkan jika para onthel ini hidup bak di film kartun, mungkin akan digambarkan sebagai sosok yang tua, tinggi dan berpenampilan klasik. Saya yang tidak mau kehilangan moment semacam ini lalu mengajak para onthel untuk berfoto. Dan sebuah sepeda onthel dengan logo gazelle (mamalia dari africa) di atas slebor depan menarik perhatian saya, “ini keren pak. Seperti mobil jaguar..” kata saya.
Si pemiliknya tertawa. Ternyata ia pun seorang anggota SOC (SUN_THREE ONTHEL CLUB). Si bapak sempat bercerita singkat tentang onthelnya, “ini punyanya mertua. Pit ini asli bikinan Belanda loh. Makanya saya pakai topi demang ini biar tambah jadul (jaman dulu)” saya tertawa. Saya jadi ingat sewaktu saya jalan di sekitaran museum Fatahillah Jakarta, sepeda onthel berjejer rapi untuk disewakan lengkap dengan topi demang dan topi wanita vintage yang bulat lebar.
***
Adapun budaya bersepeda onthel masuk ke tanah jawa di tahun 1910. Dibawa dan diperkenalkan oleh para kolonial Belanda yang kala itu menduduki pulau jawa. Saat itu kebanyakan penggunanya adalah orang orang Belanda kalangan bangsawan, misionaris, saudagar dan kaum pribumi kaya raya. Fiets, begitu mereka menyebutnya. Namun dikarnakan kaum pribumi tidak fasih berbahasa asing, maka penyebutannya berubah menjadi pit. Pit onthel berarti sepeda yang di kayuh (di onthel). Dalam dunia sepeda internasional sepeda onthel diklasifikasi sebagai Dutch old style bicycle. Sepeda dengan ban ukuran diameter 28 inchi, dan rangka 57, 61 atau 66 cm dinilai cocok dengan perawakan orang-orang Belanda yang terkenal memiliki tinggi badan tertinggi dibanding bangsa-bangsa Eropa lainnya. Onthel di Belanda nyatanya tak sesederhana yang saya kira. Mereka memiliki klasifikasi berdasar gender (omafiets dan opafiets), fungsi ( transport fiets, abbey fiets, bak fiets, tandem fiets) dan desain rangka (kruisfame fiets, swan fiets).
Dari sekian banyak industri sepeda onthel di Belanda, Gazelle dan Batavus yang paling populer hingga kini. Namun Gazelle dinilai lebih istimewa karna kenyamanannya saat dinaiki dan kekuatannya menempuh jarak yang cukup jauh. Gazelle dinilai sebagai Mercedes Benz versi sepeda onthel. Pionir sepeda onthel merk Gazelle ialah mantan pegawai kantor pos Willem Kolling dan seorang pengecer besi Rudolf Arentzen dari desa Dieren ditahun 1892. Gazelle yang semula dari produsen sepeda skala kecil menjadi perusahaan sepeda swasta bertaraf internasional yaitu Gazelle Rijwielfabriek B.V.
Produksinya mencakup onthel standar ringan (transport fiets), tandem (tandem fiets), angkut barang (bak fiets), bermotor, folding, dan teranyar E-bike. Hingga kini Gazelle masih menjadi industri sepeda terbesar di Belanda. Yang membedakan onthel buatan Gazelle dan Batavus adalah stang Batavus lebih tinggi daripada Gazelle.
Tingginya mobilitas sepeda onthel di Belanda dan ekspornya ke negara negara lain khusunya negara tetangga di Eropa menyebabkan income negara Belanda kian makmur. Gazelle misalnya, memiliki pangsa pasar sepeda sebesar 30% dengan produksi per tahunnya mencapai 2 juta unit sepeda. Kemajuan industri ini membuat kesempatan dan lapangan kerja terbuka lebar bagi warga negara Belanda maupun pendatang. Selain unggul dalam penguasaan teknologi, tenaga kerja (SDM) juga menjadi kekuatan perekonomian di Belanda. Sebuah komponen rantai ekonomi yang saling menguntungkan dan mendukung menurut saya. Kesejahteraan hidup di Belanda pun begitu merata karna usaha usaha kecil dan menengah terjamin keberadaannya oleh pemerintah. Salah satunya pemerintah menyiapkan dana ekstra bantuan mencapai 80 juta euro.
Masyarakat Belanda menjadikan sepeda onthel sebagai alat dominan transportasi mereka. Hal ini di karnakan kondisi kota kota di Belanda yang tidak begitu luas, berjarak cukup dekat, tatanan kota yang terjaga sehingga nyaman dinikmati dan naik sepeda tidak perlu memakan banyak biaya. Biaya transportasi umum dan tarif parkir di Belanda cukup mahal, 5 euro perjam nya. Di Amsterdam saja -yang mendapat predikat sebagai kota sepeda nomor 1 di dunia- jumlah pemakai sepeda onthel mencapai ratusan ribu. Belum di kota kota lain atau pedesaan. Pemerintah Belanda yang sangat peduli dengan budaya bersepeda tersebut memasukkan ketrampilan teori lalu lintas bersepeda di sekolah dasar. Pelajaran teori singkat itu ditutup dengan ujian teori dan keterampilan bersepeda. Tujuan pelajaran bersepeda itu untuk mempersiapkan murid-murid bersepeda di jalan raya dengan aman. Nyatanya, di Belanda sekolah bukan semata tempat menimba ilmu ilmu pasti dan formal namun juga diimbangi dengan bidang sosial yang menjadi bagian hidup masyarakatnya. Program tersebut mendapat dukungan dari Korps polisi lalu lintas baik di desa maupun kota. Sangat mengagumkan!! Bahkan begitu cintanya masyarakat Belanda akan sepeda, satu orang bisa memiliki lebih dari 2 macam sepeda yang digunakan untuk ke sekolah, kampus, kantor ataupun berdagang. Di negara Belanda bulan Mei dicanangkan sebagai hari Sepeda Nasional dengan tema yang berbeda tiap tahunnya. Disediakan sekitar 440 rute cross country dengan jarak antara 15 – 50 km. Hari Sepeda Nasional itu merupakan jejaring kerja sama antara Nederlandse Bureau voor Toerisme dan seluruh pemda di Belanda. Dan mulai tahun 2006 Hari Sepeda Nasional ditingkatkan menjadi Bulan Sepeda Nasional. Sebulan penuh di seluruh Belanda diselenggarakan kegiatan bersepeda bersama. Saya membayangkan bunyi bel sepeda dimana mana pastinya.
Lalu apa kaitannya dengan politik? Pemerintah Belanda membuat struktur kebijakan tentang bersepeda yang dimaksudkan untuk memberi ruang & mengutamakan pengendara sepeda dalam berlalu lintas. Diantaranya dengan membuat hampir 25.000km jalur sepeda, tempat parkir sepeda yang dilengkapi rantai keamanan, terowongan dan traffic light bagi pengendara sepeda.
Ciri khas jalur sepeda adalah aspalnya berwarna merah dan ada rambu lalu lintas bergambar sepeda di kedua ujung jalurnya. Lebarnya kira kira 1,5 meter. Di aspalnya sendiri digambari sepeda setiap beberapa ratus meter. Mobil dan kendaraan non-sepeda tidak boleh melaju di jalur itu. Jalur sepeda yang memotong jalan yang padat mobil dibuat dalam bentuk terowongan di bawah atau semacam bentuk jembatan di atas jalan mobil.
Dan untuk mengatasi masalah keamanan dan kehilangan sepeda, di Amsterdam didirikan Amsterdam Fiets Afhandel Centrale (pusat urusan sepeda Amsterdam). Sepeda sepeda yang ditemukan dikelompokkan dengan huruf dan setiap huruf memiliki angka 1-40 sebagai tanda jumlah sepeda. Selain itu setiap sepeda onthel juga memiliki nomor rangka. Jika dalam waktu 3 bulan sepeda tidak dicari pemiliknya, maka ada dua pilihan: di jual murah ke lembaga lembaga sosial, atau dikirim ke negara negara lain sebagai wujud bantuan. Saya tidak habis pikir, sepeda onthel yang sesederhana itu menjadi barang yang sangat berharga layaknya mobil mewah hingga harus serba di istimewakan semacam itu. Betapa bangganya para pencipta sepeda sepeda onthel Belanda. Hasil temuan dan inovasi mereka di masa lampau sangat dihargai dan digemari tidak hanya di negara asalnya melainkan hingga ke negara lain.
Jika di Indonesia, pengendara sepeda khususnya onthel terkadang masih dipandang sebelah mata, lain halnya di Belanda. Di Belanda pemilihan alat transportasi tidak lantas mempengaruhi status sosial seseorang. Faktor efektifitas dan kebutuhan menjadi alasan dalam pemilihan alat transportasi di Belanda. Rasanya memang tidak relevan jika membandingkan Indonesia dengan Belanda yang memiliki predikat negara dengan jalur sistem transportasi terbaik di dunia. Ya, meskipun di Indonesia program giat bersepeda sudah banyak dilakukan di berbagai kota, namun kegemaran dan kebutuhan orang orang Indonesia akan budaya bersepeda belum bisa menyamai Belanda. Misalnya di Jakarta jalur sepeda direncanakan akan memakan jalur pejalan kaki. Sedangkan di Jogja sebagai kota yang dulu sarat budaya bersepeda, kini justru sudah bersaing dengan motor ataupun mobil. Sangat disayangkan ya jika pengendara sepeda onthel di Indonesia dipandang sebagai kaum minoritas dengan status sosial menengah kebawah. Padahal di Belanda harga sepeda onthel lumayan mahal, 150 – 1500 euro.
Ketika issue global warming dan go green digalakkan di Indonesia, Belanda tidak perlu sedemikian repotnya. Masyarakat dan pemerintah sudah saling peduli terhadap kondisi negara mereka. Belanda memang pernah datang untuk menjajah Indonesia, namun mereka banyak mewarisi hal yang baik untuk di lestarikan, dipelajari dan ditiru. Yang membuat saya kagum dengan Belanda, sebagai negara multikultur yang besar dan maju, mereka terbuka dengan kemajuan zaman. Namun tidak berarti mereka melupakan dan meninggalkan sejarah budaya masa lampau. Buktinya Sepeda yang semula hanya rangkaian benda sederhana dari besi menjadi begitu bernilai, dibanggakan dan menjadi sumber pendapatan negara. Seperti yang dikatakan Albert Einstein LIFE IS LIKE RIDING A BICYCLE, TO KEEP YOUR BALANCE YOU MUST KEEP MOVING.
Jadi, apakah kalian pernah menjadi bagian dari sepeda onthel? Jika sudah, berbanggalah. Seperti halnya bangsa Netherland. Jika memungkinkan sungguh ingin sekali rasanya saya bisa sampai ke Amsterdam hanya dengan sepeda onthel. Mengayuh Gazelle sampai ke depan pabriknya. Dan duduk di tepian sungai Amstel dengan sekotak poffertjes hangat. semoga =)
Sumber:
http://www.sepedaonthel.com
http://www.bataviase.co.id
http://www.lifemybusiness.co.cc
http://forum.b2w-jogja.web.id
Majalah Intisari No. 517 Tahun XLIII Agustus 2006